Dosen Pengampu:
H. TAMRIN MUCHSIN, S.IP. MH
Oleh: Risko Syakirin
A. Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata adalah Peraturan hukum yang mengatur bagaimana ditegakkannya hukum perdata materiil. Dalam hal ini hukum acara perdata mengatur bagaimana cara berperkara dipengadilan, bagaimana cara mengajukan gugatan, memutuskan, pelaksanaan dari putusan dan lain sebagainya di dalam hukum perdata.
Menurut para ahli, pengertian Hukum Acara Perdata adalah sebagai berikut:
§ Abdul Kadir Muhamad
Hukum Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata sebagaimana mestinya. Hukum Acara Perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui Pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.
§ Wirjono Prodjodikoro
Pengertian Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak dihadapan pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata.
§ R. Soesilo
Hukum Acara Perdata / Hukum Perdata Formal yaitu kumpulan peraturan-peraturan Hukum yang menetapkan cara memelihara Hukum perdata materiil karena pelanggaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari pelanggaran hukum perata material itu, atau denga perkataan lain kumpulan peraturan-peraturan Hukum yang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pada melangsungkan persengketaan dimuka hakim perdata, supaya memperoleh suatu keputusan daripadanya, dan selanjutnya yang menentukan cara pelaksanaan putusan hakim itu.
§ MH. Tirraamidjaja
Pengertian Hukum Acara Perdata adalah suatu akibat yang ditimbulkan dari hukum perdata materil.
§ Sudikno Mertokusumo
Hukum Acara Perdata ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, cara memeriksa dan cara memutusnya, serta bagaimana pelaksanaan daripada putusannya.
§ R. Subekti (Mantan Ketua Mahkamah Agung) berpendapat:
Hukum acara itu mengabdi kepada hukum materiil, setiap perkembangan dalam hukum materiil itu sebaiknya selalu diikuti dengan penyesuaian hukum acaranya. Oleh karena itu Hukum Perdata diikuti dengan penyesuaian hukum acara perdata dan Hukum Pidana diikuti dengan penyesuaian hukum acara pidana.
§ Soepomo seorang ahli hukum adat mengatakan bahwa dalam peradilan tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.
Dari pengertian hukum acara perdata yang diungkapkan pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa Pengertian Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana ditegakkannya hukum perdata materiil, bagaimana orang berhadapan dimuka pengadilan dan bagaimana pelaksanaan dari putusannya. Hukum Acara Perdata memiliki karakteristik:
- Menentukan dan mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya Hukum Perdata Materill.
- Menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk beracara dimuka persidangan pengadilan, mulai dari pengajuan gugatan, pengambilan keputusan sampai pelaksanaan putusan pengadilan.
B. Pengertian Perkara Perdata
Perkara perdata adalah perkara mengenai perselisihan hubungan antara perseorangan (subjek hukum) yang satu dengan perseorangan (subjek hukum) yang lain mengenai hak dan kewajiban/perintah dan larangan dalam lapangan keperdataan, misalnya perselisihan tentang perjanjian jual beli, sewa, pembagian harta bersama dan sebagainya.
Perkara perdata adalah suatu perkara perdata yang terjadi antara pihak yang satu dengan pihak lainnya dalam hubungan keperdataan. Pengertian Perkara Perdata dalam arti luas yaitu termasuk perkara-perkara perdata baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa, Sedangkan Pengertian Perkara Perdata dalam arti sempit ialah Perkara-perkara Perdata yang di dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung sengketa.
Perkara Perdata yang tidak mengandung sengketa sifatnya hanya merupakan suatu permohonan penetapan ke pengadilan untuk ditetapkan adanya hak-hak keperdataan yang dipunyai oleh pihak yang berkepentingan agar hak-hak keperdataannya mendapatkan keabsahan dan pada umumnya tidak mengandung sengketa.
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,SH., dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia, menyatakan bahwa Perkara Perdata adalah “Meliputi baik perkara yang mengandung sengketa (contentieus) maupun yang tidak mengandung sengketa (voluntair)”.
Setiap perkara perdata yang diajukan ke persidangan pengadilan tidak hanya perkara yang berhubungan dengan sengketa saja, tetapi dalam praktiknya terdapat penyelesaian suatu masalah perdata dengan Yurisdiksi Voluntair atau permohonan penetapan hak yang tidak mengandung sengketa (pasal 5 ayat 3a UU Drt No.1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Untuk Menyelenggarakan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil).
Dalam perkara perdata sudah pasti terdapat perselisihan. Dalam hal ini ada sesuatu yang menjadi pokok perselisihan, ada yang dipertengkarkan, dan ada yang di sengketakan. Sebenarnya perselisihan itu bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan atau musyawarah. Jika perselisihan atau persengketaan itu tidak dapat di selesaikan oleh pihak-pihak itu sendiri, maka diperlukan penyelesaian melalui pihak ketiga yang lebih kompeten, dalam hal ini adalah hakim di pengadilan sebagai pihak dan instansi yang berwenang, dan tidak memihak pihak manapun dalam memutuskan perselisihan atau sengketa tersebut. Hakim di pengadilan tersebut bertugas menyelesaiakan suatu perkara dengan jalan memeriksa dan mengadili seadil-adilnya pihak yang berselisih dalam suatu sidang yang terbuka untuk umum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum formil), dalam hal ini Hukum Acara Perdata. Putusan hakim tersebut bersifat mengikat ke dua belah pihak yang berperkara.
Berdasarkan uraian diatas ciri-ciri perkara perdata yaitu:
a. Berawal dari adanya perselisihan,
b. Terdapat dua belah pihak yag berperkara,
c. Petitum gugatan dan putusan hakim bersifat condemnatoir,
d. Putusan hakim mengikat kedua belah pihak dan saksi.
Pengadilan sebagai pihak dan instansi yang berwenang dalam memutuskan perselisihan atau sengketa Perdata, dituntut untuk mengedepankan prinsip Peradilan yang terbuka. Walaupun hal ini tidak boleh mengesampingkan prinsip utama lembaga peradilan yaitu prinsip indepensi peradilan, karena dengan prinsip independensi peradilan ini maka akan tercipta proses peradilan yang fair.
C. Pengertian Sengketa Perdata
Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi di mana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidak puasannya kepada pihak kedua, apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut, sebaliknya jika reaksi pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai – nilai yang berbeda, akan terjadilah apa yang dinamakan sengketa.
Jika di dalam masyarakat terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah, maka pihak yang dirugikan haknya dapat mengajukan gugatan melalui lembaga pengadilan. Pihak ini disebut penggugat. Gugatan diajukan ke pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa tersebut (Sudikno Mertokusumo, 2010:84). Di dalam perkara perdata di kenal adanya adagium “justice delayed is jutice denied” yang artinya keadilan tidak dapat di sangkal dan di tunda.
Dalam sistem peradilan, khusus untuk perkara perdata. Sekali lagi, hanya untuk perkara perdata saja yang dapat diselesaikan perkaranya dengan menggunakan sistem out court/ nonlitigasi. Nonlitigasi/ nonajudikasi adalah sistem peradilan yang penyelesaiannya dilaksanakan di luar pengadilan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution). Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang ADR dan Arbitrase dapat dibagi beberapa model ADR sebagai berikut:
1. Konsultasi
2. Negosiasi
3. Konsiliasi (pemufakatan)
4. Mediasi
5. Arbitrase
D. Pengertian Beracara
Hukum Acara Perdata baik teori maupun praktek mengatur tentang bagaimana caranya seseorang, organisasi, badan hukum, maupun badan usaha dan negara mengajukan suatu tuntutan hak atau gugatan terhadap para pihak yang melanggar hak dan kewajiban yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau ditentukan oleh para pihak yang berkepentingan melalui perjanjian yang disepakati bersama.
Beracara adalah pelaksanaan tuntutan hak baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa yang diajukan oleh pihak yang bekepantingan.
Pada umumnya untuk beracara di pengadilan pada asasnya di kenakan biaya (pasal 182 HIR jo pasal 145 ayat 4 RBg. Jo. Pasal 4 ayat 2, pasal 5 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Biaya perkara tersebut meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk pemanggilan, pemberitahuan para pihak yang sedang berperkara serata biaya materai.
Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara dapat mengajukan permohonan beracara tanpa biaya (Prodeo) pasal 237 HIR jo. Pasal 273 RBg.
E. Sifat Hukum Acara Perdata
Sifat Hukum Acara Perdata adalah melaksanakan hukuman terhadap para pelanggar hak pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di dalam hukum materil agar dapat dilaksanakan secara paksa melalui pengadilan.
Hukuman dalam hukum acara perdata umumnya memberikan ganti rugi kepada salah satu pihak yang telah dirugikan atas pelanggaran yang terjadi.
Penyelesaian sengketa tanpa melalui pengadilan ( diluar pengadilan) pelaksanaan pemenuhan ganti rugi atau prestasi tidak dapat dipaksakan melalui aparatur pemerintah karena tidak mempunyai dasar hukum yang kuat dan secara yuridis yang dapat melaksanakan tindakan dengan cara paksa terhadap para pelanggar hak untuk pemenuhan ganti rugi atau pemenuhan prestasi hanyalah melalui proses litigasi atau keputusan hakim pengadilan.
Dalam pelaksanaan pemenuhan ganti rugi atau pemenuhan prestasi kepada pihak yang melanggar hak, dengan cara paksa pengadilan dapat meminta bantuan aparat territorial setempat, misalnya Polresta, Kodim, Koramil, Polsekta, Kecamatan, Lurah, dan Ketua RT/RW setempat.
Sifat hukum acara perdata untuk dapat mencapai apa yang menjadi tujuan hukum acara perdata dalam mempertahankan hukum perdata materiil yaitu :
- Pada umumnya peraturan-peraturan hukum acara perdata bersifat mengatur dan memaksa. Hukum acara perdata yang bersifat mengatur dan memaksa ini tidak dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan,dan pihak-pihak yang berkepentingan harus tunduk dan menaatinya.
- Hukum acara perdata bersifat pelengkap,karena dianggap mengatur penyelenggaraan kepentingan khusus dari yang bersangkutan,sehingga peraturan hukum acara perdata yang bersifat pelengkap ini dapat dikesampingkan atau disampingi oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
- Apabila dikaitkan dengan sifat hukum perdata yang mengatur hubungan hukum secara personal,maka terjadinya perkara perdata semata-mata inisiatif dari penggugat yang merasa atau dirasa bahwa haknya telah dilanggar oleh tergugat. dalam hal ini kelihatan adanya kesukarelaan.
- Apabila dilihat dari aspek pembagian hukum berdasarkan kekuatan sanksinya, maka sifat hukum acara perdata pada umumnya adalah memaksa (dwingendrecht). sifat tersebut karena berfungsi dalam mempertahankan eksistensi hukum perdata materiil.
- Apabila ditinjau dari aspek proses, maka hukum acara perdata bersifat sederhana dalam beracara di depan sidang pengadilan, yang artinya bahwa suatu proses beracara yang tidak rumit. Sifat sederhana ditujukan pada prosedur yang jelas,transparan serta dapat dipahami oleh segenap lapisan masyarakat,tanpa meninggalkan aspek formalitas,kepastian dan nilai-nilai keadilan.
F. Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata
Sumber-sumber hukum acara perdata diantaranya :
- Peraturan Perundang-undangan peninggalan pemerintah Hindia Belanda yaitu :
- HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) / RIB (Reglement Indonesia yang dibarui ) Stb. 1948 No 16 jo Stb 1941 No 44. berlaku untuk daerah jawa dan madura.
- RBG (Rechtsreglement Buitengewesten) / RDS (Reglement Daerah seberang), Stb 1927 No 227, berlaku untuk daerah luar jawa dan Madura.
- Rv (Reglement op de Burgerlijk Rechtsvoordering) / Reglemen Hukum Acara perdata untuk golongan eropa Stb.1847 No 52 jo Stb.1849.
- Peraturan Perundang-undangan yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan yaitu :
- Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan ulangan untuk daerah Jawa dan madura.
- Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
- Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 jo Undang-undang No 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan umum.
- Berasal dari sumber hukum lainnya diantaranya :
- Yurisprudensi
- Adat kebiasaan yang dianut oleh hakim (Menurut pendapat Prof.Wirjono Prodjodikoro).
- Perjanjian internasional.
- Doktrin/Pendapat sarjana.
- Surat edaran mahkamah agung (SEMA).
G. Asas Asas Hukum Acara Perdata
Asas asas hukum acara perdata ini dikaitkan dengan dasar serta asas-asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara, dimana ketentuan ini diatur di dalam UU No. 14 Tahun 1970 mengenai Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Selain itu juga asas-asas hukum acara perdata ini didasarkan pada HIR atau RBG. Dengan kata lain Asas Hukum Acara Perdata adalah suatu pedoman atau dasar yang harus dilaksanakan oleh hakim dalam mengadili suatu perkara.
1. Peradilan bebas dari campur tangan pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judicieel menururt UU No. 14/1970 tidak mutlak sifatnya. Karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar hukum serta asas-asas yang jadi landasannya. Sehungga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat indonesia.
2. Asas Objektivitas
Asas asas hukum acara perdata salah satunya ialah asas objektivitas. Di dalam memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan, maka hakim harus bersifat objektif dan tidak boleh memihak kepada pihak manapun dalam persidangan. Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan atas putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili.
3. Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
Asas sederhana, cepat dan biaya ringan merupakan salah satu dari asas asas hukum acara perdata. Yang dimaksud dengan sederhana adalah acara peradilan dilaksanakan dengan jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Kata cepat menunjuk kepada jalannya peradilan yang dilaksanakan. Terlalu banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya pengadilan, yang seharusnya pengadilan berjalan dengan cepat tanpa adanya penundaan karena pihak-pihak yang tidak menghadiri persidangan membuat persidangan menjadi lama. Biaya ringan yaitu terpikul oleh rakyat, jika biaya berperkara sangat tinggi akan menyebabkan rakyat tidak mau untuk berperkara di pengadilan.
4. Gugatan atau Permohonan Diajukan dengan Surat atau Lisan
Asas asas hukum acara perdata salah satunya adalah gugatan diajukan dengan surat atau lisan. Dalam menyampaikan gugatan perdata harus diajukan ddengan surat yang ditandatangani oleh penggungat atau oleh orang yang dikuasakan. Namun jika penggugat tidak dapat menulis, maka diberikan keringanan untuk menyampaikan gugatan secara lisan kepada ketua pengadilan negeri.
5. Inisiatif Berperkara diambil oleh Pihak Yang Berkepentingan
Asas asas hukum acara perdata salah satunya ialah inisiatif dari pihak yang berkepentingan. Dalam hukum acara perdata, inisiatif yaitu tidak adanya suatu perkara harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa, bahwa haknya atau hak mereka telah dilanggar. Jadi tanpa adanya inisiatif dari pihak yang dirugikan untuk menggugat, maka pengadilan tidak akan berlangsung.
6. Keaktifan Hakim dalam Pemeriksaan
Asas asas hukum acara perdata salah satunya yaitu keaktifan hakim dalam pemeriksaan. Dalam Hukum Acara Perdata hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara dan tidak merupakan pegawai atau sekedar alat dari pada para pihak, hakim juga harus berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya keadilan.
7. Beracara Dikenakan Biaya
Asas asas hukum acara perdata salah satunya adalah beracara dikenakan biaya. Pihak penggugat membayar terlebih dahulu kepada panitera dengan sejumlah uang yang besarnya ditentukan dengan pertimbangan keadaan perkara. Jika penggugat tidak mampu membayar biaya berperkara, maka penggugat dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) untuk dibebaskan dari pembayaran biaya, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu. Surat keterangan tersebut dapat dibuat oleh camat yang membawahkan daerah tempat yang berkepentingan tinggal.
8. Para pihak dapat Meminta Bantuan atau Mewakilkan Seorang Kuasa
Asas asas hukum acara perdata salah satunya ialah para pihak dapat diwakilkan oleh kuasanya. Orang yang belum pernah berhubungan dengan pengadilan dan harus berperkara, biasanya gugup menghadapi hakim, maka seorang kuasa sangat berguna.
9. Sifat Terbukanya Persidangan
Sifat terbukanya persidangan merupakan salah satu dari asas asas hukum acara perdata. Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, terbuka untuk umum maksudnya bahwa setiap orang diperbolehkan untuk hadir dan menyaksikan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari asas ini tidak lain untuk memberi perlindungan HAM dalam bidang peradilan.
10. Mendengar Kedua Belah Pihak
Asas asas hukum acara perdata salah satunya adalah mendengar kedua belah pihak. Di dalam hukum, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama. Menurut hukum, pengadilan mengadili dengan tidak membedakan orang, ini berarti bahwa pihak yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak memperoleh perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya.
H. Penolakan Hakim Dalam Persidangan Pengadilan
Pada dasarnya para pihak yang berperkara di pengadilan tidak diperbolehkan atau dilarang menolak hakim yang telah ditunjuk oleh pengadilan untuk menangani suatu perkara sengketa kecuali hakim tersebut terbukti melakukan perbuatan atau tindakan tercela yang merugikan salah satu pihak yang sedang berperkara atau berpihak kepada salah satu pihak, maka para pihak atau salah satu pihak yang sedang berperkara dapat mengajukan penolakan terhadap hakim yang menangani perkara tersebut dengan alasan-alasan tersebut pula.
Alasan-alasan penolakan terhadap hakim berlaku juga terhadap penuntut umum, panitera, dan panitera pengganti. Khusus untuk penuntut umum tidak dapat di tolak apabila karena jabatannya penuntut umum terlibat langsung sebagai pihak dalam suatu perkara baik dalam perkara perdata maupun pidana.
Dalam waktu 2 hari anggota majelis hakim yang di tolak harus memberikan tanggapan secara tertulis tentang adanya penolakan dari para pihak atau salah satu pihak dalam suatu perkara yang di tanganinya kepada hakim ketua pengadilan negeri tentang alasan-alasan penolakannya. Jika secara tertulis yang di tolak oleh para pihak atau salah satu pihak yang berperkara adalah hakim ketua, maka hakim ketua memberikan tanggapan tentang adanya penolakan kepada hakim wakil ketua, jika hakim wakil ketua tidak ada maka kepada hakim anggota yang pangkatnya di bawah ketua sebelum hakim ketua memulai tugasnya.
Dengan adanya penolakan hakim di atas, maka majelis hakim akan menyelidiki alasan-alasan penolakan tersebut, jika alasan-alasan penolakan tersebut terbukti adanya maka penolakan akan dikabulkan, namun jika alasan-alasan penolakan tersebut tidak terbukti maka permohonan penolakan tersebut tidak akan dikabulkan dan pemeriksaan akan terus dijalankan.
Apabila permohonan penolakan yang pertama terhadap hakim belum mendapatkan jawabannya maka pengajuan permohonan penolakan yang kedua dan berikutnya tidak dapat diajukan sebelum ada putusan mengenai pengajuan penolakan yang pertama. Selama belum ada keputusan mengenai penolakan hakim yang diajukan penolakan maka hakim tersebut tidak diperbolehkan mengundurkan diri dari penanganan suatu perkara sengketa.
Permohonan penolakan terhadap anggota majelis dan ketua majelis hakim dalam suatu persidangan di pengadilan diajukan secara tertulis disertai alasan-alasannya dan di tanda tangani oleh pihak yang mengajukan penolakan tersebut. Pengajuan permohonan penolakan tersebut selambat-lambatnya sebelum dilakukan pledoi (pembelaan) atau sebelum tenggang waktu tanya jawab (repliek dan dupliek) habis kecuali alasan-asalan yang menjadi sebab penolakan tersebut baru timbul kemudian. Selanjutnya ketua atau hakim wakil ketua akan memutuskan tentang pengajuan penolakan tersebut di dalam sidang pengadilan terhadap anggota majelis hakim atau hakim ketua majelis di kabulkan atau tidak di kabulkan permohonan penolakan tersebut. Putusan mengenai di kabulkan atau tidaknya permohonan tersebut tidak dapat dimintai banding atau kasasi (pasal 34, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44 Rv).
Pengajuan permohonan penolakan terhadap anggota majelis atau hakim ketua majelis tidak dapat ditolak kecuali dalam hal sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 35 Rv yang dinyatakan:
1. Jika ia secara pribadi mempunyai kepentingan dalam perkara yang bersangkutan.
2. Jika ia dengan salah satu pihak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau periparan sampai derajat ke empat.
3. Jika dalam waktu satu tahun sebelum penolakan terhadap salah satu pihak atau istrinya atau pun terhadap keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan dalam garis lurus, telah dilakukan proses pidana atas tuntutannya atau karena tindakannya.
4. Jika ia telah memberikan nasihat tertulis di dalam perkara itu.
5. Jika ia selama berjalannya perkara telah menerima suatu pemberian kepadanya yang di setujuinya.
6. Jika ia, istrinya, keluarga sedarah serta keluarga karena perkawinan mereka dalam garis lurus mempunyai persengketaan tentang pokok perkara serupa dengan yang sedang di alami oleh para pihak.
7. Jika antara hakim, istrinya keluraga sedarah mereka atau keluarga mereka karena perkawinan dalam garis lurus masih dalam proses perkara perdata dan salah satu pihak masih tersangkut di dalanya.
8. Jika hakim adalah wali, pengampu, pewaris atau yang menerima hibah dari salah satu pihak atau jika salah satu pihak kemungkinan besar adalah ahli warisnya.
9. Jika ia adalah seorang pengurus suatu yayasan, perserikatan atau badan pemerintahan yang menjadi salah satu pihak.
10. Jika terdapat permusuhan yang hebat antara dia dan salah satu pihak .
11. Jika antara hakim dan salah satu pihak sejak timbulnya perkara atau dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum penolakan telah terjadi penghinaan atau ancaman.
Pengecualian sebagaimana di sebutkan dalam pasal 35 Rv di atas dimaksudkan untuk menghindari adanya keputusan pengadilan yang tidak mencerminkan keadilan bagi para pihak yang berperkara di pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Daftar Pustaka: Sarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Teori Dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika.
2. Daftar Pustaka / Sumber: Sarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Teori Dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar