LEGAL OPINI: TERHADAP KASUS SENGKON DAN KARTA

 

 

LEGAL OPINI TERHADAP KASUS SENGKON DAN KARTA

OLEH: RISKO SYAKIRIN

MATA KULIAH: HUKUM ACARA PIDANA

 


Apa yang menimpa Sengkon dan Karta adalah salah satu sejarah kelam dunia peradilan kita. Sengkon dan Karta sering ditulis oleh para pengamat kita ketika berbicara mengenai penegakan hukum di Indonesia.

            Sebagaimana yang sering kita dengar dalam istilah ilmu hukum bahwa “Membebaskan orang yang bersalah lebiah baik daripada menghukum orang yang tidak bersalah”. Dampak sosial, moral dan psikologis yang diderita oleh orang yang dihukum atas kesalahan yang tidak ia lakukan akan berpengaruh dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

Kasus Sengkon dan Karta merupakan bukti bahwa Hukum sepertinya “cenderung tajam ke bawah dan tumpul ke atas atau dengan kata lain bahwa hukum tidak berpihak kepada orang yang miskin”. Seperti itulah ungkapan-ungkapan yang sering kita dengar dan berkembang di masyarakat.

Sebagai mahasiswa yang saat ini sedang belajar Ilmu Hukum pada prodi Hukum Tata Negara di IAIS Sultan Syafiuddin Sambas, secara pribadi saya berpendapat bahwa ada hikmah yang besar dengan kasus Sengkon dan Karta, sebab Mahkamah Agung menghidupkan lembaga Peninjauan Kembali (PK), dimana peninjauan kembali atau PK sebelum peristiwa Sengkon dan Karta tidak dikenal dalam system hukum di Indonesia. Sejak itulah Lembaga Peninjauan Kembali (PK) lahir dan dipakai dalam sistem hukum di Indonesia.

PK terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan tetap (berziening), pada Januari 1981 ketua MA Oemar Seno Adji yang kemudian memerintahkan mereka untuk dibebaskan.  Keterlambatan disebabkan anak almarhum Karta mengurus surat keterangan miskin yang perlu dilampirkan untuk meminta biaya pembebasan biaya perkara. Untuk sesuatu perjuangan mencari keadilan, kadang bagi orang miskin tidak selancar dan secepat yang sering dikatakan. Pasti banyak kendala yang dihadapi di lapangan.

Semoga peristiwa seperti ini tidak pernah terjadi lagi dalam sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia.

 

 

 

REVIEW KASUS

“SENGKON DAN KARTA, SEBUAH IRONI KEADILAN”

| | |

Lima tahun bukan waktu yang teramat pendek. Apalagi untuk dihabiskan di dalam sebuah ruangan beku bernama penjara. Apalagi untuk sebuah perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Tapi Sengkon dan Karta mengalaminya. Kepada siapakah mereka harus mengadu, jika sebuah lembaga bernama pemerintah tidak bisa lagi dipercaya? Sebab keadilan tidak pernah berpihak kepada Sengkon, juga Karta, juga mereka yang lain, yang bernama rakyat kecil.

Alkisah sebuah perampokan dan pembunuhan menimpa pasangan suami istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Tahun 1974. Beberapa saat kemudian polisi menciduk Sengkon dan Karta, dan menetapkan keduanya sebagai tersangka.

Keduanya dituduh merampok dan membunuh pasangan Sulaiman-Siti Haya. Tak merasa bersalah, Sengkon dan Karta semula menolak menandatangani berita acara pemeriksaan. Tapi lantaran tak tahan menerima siksaan polisi, keduanya lalu menyerah. Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita polisi ketimbang bantahan kedua terdakwa. Maka pada Oktober 1977, Sengkon divonis 12 tahun penjara, dan Karta 7 tahun. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat.

Dalam dinginnya tembok penjara itulah mereka bertemu seorang penghuni penjara bernama Genul, keponakan Sengkon, yang lebih dulu dibui lantaran kasus pencurian. Di sinilah Genul membuka rahasia: dialah sebenarnya pembunuh Sulaiman dan Siti!. Akhirnya, pada Oktober 1980, Gunel dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.

Meski begitu, hal tersebut tak lantas membuat mereka bisa bebas. Sebab sebelumnya mereka tak mengajukan banding, sehingga vonis dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap. Untung ada Albert Hasibuan, pengacara dan anggota dewan yang gigih memperjuangkan nasib mereka. Akhirnya, pada Januari 1981, Ketua Mahkamah Agung (MA) Oemar Seno Adji memerintahkan agar keduanya dibebaskan lewat jalur peninjauan kembali.

Berada di luar penjara tidak membuat nasib mereka membaik. Karta harus menemui kenyataan pahit, keluarganya kocar-kacir entah ke mana. Dan rumah dan tanah mereka yang seluas 6.000 meter persegi di Desa Cakung Payangan, Bekasi, telah amblas untuk membiayai perkara mereka.

Sementara Sengkon harus dirawat di rumah sakit karena tuberkulosisnya makin parah, sedangkan tanahnya yang selama ini ia andalkan untuk menghidupi keluarga juga sudah ludes dijual. Tanah itu dijual istrinya untuk menghidupi anak-anaknya dan membiayai dirinya saat diproses di polisi dan pengadilan. Walau hanya menanggung beban seorang istri dan tiga anak, Sengkon tidak mungkin meneruskan pekerjaannya sebagai petani, karena sakit TBC terus merongrong dan terlalu banyak bekas luka di badan akibat siksaan yang dideranya.

Sementara itu Sengkon dan Karta juga mengajukan tuntutan ganti rugi Rp 100 juta kepada lembaga peradilan yang salah memvonisnya. Namun Mahkamah Agung menolak tuntutan tersebut dengan alasan Sengkon dan Karta tidak pernah mengajukan permohonan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Bekasi pada 1977. ‘Saya hanya tinggal berdoa agar cepat mati, karena tidak ada biaya untuk hidup lagi’ kata Sengkon.

Lalu Tuhan berkuasa atas kehendaknya. Karta tewas dalam sebuah kecelakaan, sedangkan Sengkon meninggal kemudian akibat sakit parahnya. Di sanalah mereka dapat mengadu tentang nasibnya, hanya kepada Tuhan (berbagai sumber).

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LABORATORIUM PERADILAN SEMU

LABORATORIUM PERADILAN SEMU
Jl. Raya Sungai Kelambu, Desa Mensere Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, Kode Pos 79461

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

Pages