legal Opini: DAMPAK SOSIAL BANTUAN LANGSUNG TUNAI DANA DESA (BLT-DD) DARI SUDUT PANDANG SOSIOLOGI HUKUM

 

Dosen Pengampu:

NURSYAMSIAH, MH.

Oleh: Risko Syakirin

A.    Latar Belakang Masalah

Dampak Sosial dari adanya wabah Corona Virus Desease 2019 (COVID-19) ditengah-tengah masyarakat sangat kompleks. Dengan ditetapkannya sebagai Pandemi Global oleh World Health Organization (WHO) pada tanggal 11 Maret 2020, Pemerintah membuat berbagai macam kebijakan dan aturan yang berkaitan dengan penanganan dan pencegahan meluasnya penyebaran virus mulai dari tingkat pusat, daerah, sampai ke desa.

Kebijakan-kebijakan tersebut dituangkan dalam bentuk produk hukum, mulai dari Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocusing Kegiatan, Realokasi Anggaran serta Pengadaan Barang dan Jasa dalam ranga Percepatan Penanganan COVID-19, Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang sampai kepada Peraturan-Peraturan Menteri yaitu Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengelolaan Dana Desa dan Peraturan Menteri Desa tentang Perubahan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020.

Dengan ditetapkannya beberapa peraturan menteri tersebut, bahwa penggunaan Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui transfer daerah difokuskan kepada pemberian bantuan sosial dan bantuan keuangan kepada masyarakat di desa khususnya masyarakat yang terdampak terhadap beberapa kebijakan pembatasan sosial berskala besar dan masyarakat yang terdampak langsung dari penyebaran virus COVID-19.

Bantuan sosial diarahkan kepada kegiatan berupa Jaring Pengaman Sosial (JPS) di Desa diantaranya Pelaksanaan Padat Karya Tunai Desa (PKTD) dan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD). Selain bersumber dari Dana Desa, bantuan sosial sejenis juga diberikan oleh Pemerintah Pusat berupa Bantuan Sosial Tunai (BST) dari Kementerian Sosial dimana target dan sasaran Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dari kedua bantuan tersebut relatif sama dan berpotensi tumpang tindih (over lapping). Dengan demikian Pemerintah Desa dituntut untuk menjaring dan memilah dengan ekstra ketat terhadap calon penerima bantuan agar tidak terjadi tumpang tindih bantuan kepada KPM yang sama sehingga menimbulkan polemik di desa. Selain itu juga tidak dibolehkan oleh aturan yang ada tentang kriteria penerima bantuan.

 

B.     Landasan Hukum

1.      Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;

2.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid -19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan;

3.      Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

4.      Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa;

5.      Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa;

6.      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50/PMK.70/2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Desa;

7.      Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020;

8.      Peraturan Bupati Sambas Nomor 48 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa.

 

C.    Kajian dan Analisis Masalah dari Sudut Sosiologi Hukum

Dengan ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50/PMK.07/2020 tentang Perubahan Kedua PMK 205/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Desa, bahwa penganggaran BLT-DD menjadi syarat penyaluran Dana Desa. Kemudian untuk mekanisme pendataan, penetapan, penyaluran dan pelaporan BLT-DD mengacu pada Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Permendes Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020.

Namun meskipun aturan dan landasan hukum tentang penyaluran BLT-DD tersebut sudah jelas dan lengkap, tidak serta merta dalam pelaksanaannya di desa tanpa masalah dan kendala. Tidak sedikit Kepala Desa dan Pemerintah Desa lainnya tertekan dan menjadi sasaran kemarahan masyarakat atas pelaksanaan kebijakan pemerintah tersebut, bahkan ada Kepala Desa yang dituntut untuk mundur oleh sekelompok masyarakat yang protes sesaat setelah BLT-DD disalurkan kepada KPM yang semestinya sudah disepakati dalam musyawarah desa.

Baru-baru ini ada Kepala Desa dan Perangkat Desa lainnya termasuk BPD disalah satu desa di Kabupaten Sambas didatangi sekelompok warga di Kantor Desa dengan tujuan agar pemerintah desa berhenti atau mundur dari jabatannya. Menurut warga bahwa penyaluran BLT-DD di Desa nya tidak tepat sasaran dan terindikasi KKN. Masyarakat menganggap bahwa BLT-DD adalah bantuan untuk semua masyarakat tanpa pandang bulu, karena semua berisiko terpapar dan terdampak virus.

Jika dikaji dari sudut kajian Law In Book sebagaimana yang dikemukakan Ronni Hanitijo Soemitro bahwa ketentuan pendataan dan kriteria masyarakat yang berhak menerima BLT-DD sudah jelas mengacu pada Permendes PDTT Nomor 7 Tahun 2020 yaitu keluarga miskin bukan penerima PKH, BPNT, BST dan bantuan lainnya yang sejenis antara lain:

1.      Kehilangan mata pencaharian,

2.      Belum terdata dalam DTKS (exclussion error), dan

3.      Mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun/kronis.

Sementara untuk menentukan penerima manfaat bantuan dibahas dan ditetapkan dalam musyawarah desa khusus/insidentil yang dilaksanakan dengan agenda tunggal yaitu validasi dan finalisasi data. Musyawarah desa khusus/insidentil diselenggarakan oleh BPD yang difasilitasi Pemerintah Desa, dihadiri oleh unsur perwakilan masyarakat, pemerintah desa dan BPD yang didampingi Pendamping Desa.

Dengan kata lain, norma atau kaedah aturan tentang BLT-DD bersifat otonom dan terbebas dari pengaruh apapun (Law In Book). Namun kenyataannya cita-cita dari konsep hukum ini tidaklah semulus dan sesederhana yang diharapkan. Implementasi peraturan Perundang-undangan selalu berdampak pada kondisi masyarakat artinya hukum tersebut memiliki pengaruh dan hubungan timbal balik dengan gejala sosial lainnya seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, agama dan lain-lain yang dikenal dengan istilah Law In Action (Ronni Hanitijo Soemitro).

Ketimpangan antara kondisi masyarakat yang dicita-citakan dengan keadaan masyarakat yang ada di dalam kenyataan ini bisa disebut sebagai gejala sosial yang mungkin saja disebabkan oleh tahapan dan proses yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ada, kurangnya sosialisasi kepada masyarakat desa, tidak partisipatif dalam mengambil keputusan, monopoli kebijakan, tidak transparan dan akuntable dalam pelaporan serta dibarengi dengan kepentingan-kepentingan yang tidak berpihak kepada masyarakat umum.

Kurangnya koordinasi juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya polemik dan konflik ditengah masyarakat, sehingga tidak sedikit pemerintah desa yang nekat membuat sebuah kebijakan dan kearifan lokal terhadap sesuatu yang sebenarnya sudah diatur oleh regulasi. Pada akhirnya menuai protes dari masyarakat yang merasa mengetahui tentang aturan yang sebenarnya.

Sebagai contoh untuk penentuan data penerima BLT-DD yang seharusnya berpedoman pada kriteria yang ada tapi diputuskan dengan kemauan Kepala Desa dan  BPD atau desakan dari sebagian masyarakat. Contoh lain untuk jumlah nilai BLT-DD yang diputuskan dengan cara bagi rata kepada masyarakat yang diajukan forum musdes, karena anggaran tidak mencukupi sehingga nilai BLT-DD hanya sebesar Rp 200.000 per KK penerima. Padahal dalam aturan sudah sangat tegas tertulis besaran BLT-DD adalah Rp 600.000 per KK penerima untuk periode 3 (tiga) bulan pertama dan Rp 300.000 per KK untuk periode 3 (tiga) bulan berikutnya. Tentunya hal tersebut melanggar ketentuan secara hukum dan pasti akan menimbulkan masalah di desa.

 

D.    Solusi Pemecahan Masalah

Dalam kajian studi ilmu Sosiologi Hukum, gejala sosial ditengah masyarakat yang timbul akibat dari adanya ketimpangan dalam pelaksanaan peraturan Perundang-undangan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Bahkan jika dilaksanakan sesuai aturan sekalipun tetap ada gejala-gejala sosial yang berdampak terhadap lingkungan dna masyarakat. Pro dan kontra terhadap kebijakan yang baru memang tidak dapat dihindari, oleh karena itu untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan maka lakukan saja sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan kembalikan kepada peraturan perundang-undangan. Dengan demikian segala bentuk masalah dan konflik dapat dihindari dan diminimalisir.

Bantuan sosial BLT-DD adalah kebijakan yang timbul akibat adanya wabah COVID-19 dan sebagai akibat dari penetapan status pandemi global kejadian luar biasa yang mana masyarakat umum akan beranggapan bahwa mereka semua berhak menerima bantuan tersebut karena informasi yang mereka dengar di media-media adalah bersifat umum dan tidak menyebutkan mekanisme secara terperinci. Oleh karena itu, pentingnya sosialisasi baik dari Pemerintah Desa, BPD, unsur masyarakat dan Pendamping Desa kepada masyarakat umum.

Solusi lain adalah dengan membuat baliho-baliho sosialisasi yang dipasang pada tempat-tempat umum yang mudah diakses masyarakat sebagai bentuk transparansi dan laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat.

 

E.     Kesimpulan

Dalam istilah hukum ada yang namanya Deskresi, yaitu langkah kebijakan lokal yang diambil untuk membuat keputusan tentang suatu hal dan masalah yang tidak atau belum diatur sehingga masih obscure selama kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-udangan yang sudah ada. Dengan kata lain, kebijakan yang akan diambil haruslah tetap mempedomani aturan lain yang mendekati untuk dijadikan pijakan atau landasan hukum sehingga tetap berada dalam jalur dan koridor hukum yang sah.

Pentingnya transparansi, sosialisasi dan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah yang belandaskan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang ada untuk menghindari terjadinya gesekan dan konflik ditengah masyarakat sebagai gejala sosial dari sudut pandang Sosiologi Hukum.

 

Disusun oleh:

RISKO SYAKIRIN
NIM 302.2018.068
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LABORATORIUM PERADILAN SEMU

LABORATORIUM PERADILAN SEMU
Jl. Raya Sungai Kelambu, Desa Mensere Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, Kode Pos 79461

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

Pages