JURNAL: SYARAT, TUGAS, WEWENANG, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM

 


  SYARAT, TUGAS, WEWENANG, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM

 

Risko Syakirin

Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas

Kalimantan Barat

e-mail: riskosyakirin@gmail.com

 

Abstract

Judges are one of the most important elements in the judicial institution (religion). He plays a very important role in implementing the implementation of Islamic law and is the person who is most fully responsible for maintaining and defending Islamic law. Such is the weight of the judge's task, of course not everyone is able to carry it out. This is what makes it important to provide special criteria and separate screening for people who will be appointed as judges. This aims to ensure that the person holding this position is truly authoritative and worthy. In addition, a judge must be able to carry out examinations, assessments and finally give a decision on a case that is submitted to him. Such authority is called judicial power.

Keywords: Judges, Judge Requirements, Duties and Authorities of Judges, Religious Courts

Abstrak

Hakim merupakan salah satu unsur terpenting dalam lembaga peradilan (agama). Ia memainkan peranan yang sangat penting dalam melaksanakan pemberlakuan hukum Islam dan merupakan orang yang paling bertanggungjawab sepenuhnya dalam menjaga dan mempertahankan hukum Islam. Demikian beratnya tugas hakim, tentu tidak semua orang mampu melaksanakannya. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya pemberian kriteria khusus dan penyaringan tersendiri bagi orang yang akan diangkat menjadi hakim. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa orang yang memegang jabatan ini benar-benar berwibawa dan berkelayakan. Di samping itu, seorang hakim harus mampu melakukan pemeriksaan, penilaian dan akhirnya memberikan keputusan terhadap suatu perkara yang diajukan kepadanya. Kewenangan yang demikian itulah yang disebut dengan kekuasaan kehakiman.

Kata Kunci: Hakim, Syarat Hakim, Tugas dan Wewenang Hakim, Peradilan Agama

 

PENDAHULUAN

Tugas hakim bukan hanya sebagai penerap hukum (Undang-undang) atas perkara-perkara di Pengadilan atau “agent of conflict”. Tetapi seharusnya juga mencakup penemuan dan pembaruan hukum. Hakim yang ideal, selain memiliki kecerdasan yang tinggi, juga harus mempunyai kepekaan terhadap nilai-nilai keadilan, mampu mengintegrasikan hukum positif ke dalam nilai-nilai agama, kesusilaan, sopan santun dan adat istiadat yang hidup dalam masyarakat melalui setiap putusan yang dibuatnya. Karena pada hakikatnya, mahkota seorang hakim itu bukan pada palunya, melainkan pada bobot atau kualitas dari putusan yang dihasilkan.

Pelaksanaan peran Hakim sebagai komponen utama lembaga peradilan, sekaligus sebagai bagian yang strategik dan sentral dari kekuasaan kehakiman, selain memberikan kontribusi dalam melaksanakan misi institusinya, juga menjadi kontributor dalam roses pelayanan publik dalam menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran. Di sisi yang lain, juga akan berimplikasi nyata terhadap pemenuhan tanggung jawab kelembagaan kekuasaan kehakiman. Kian berkualitas putusan yang dihasilkannya, maka peran lembaga yudikatif ini akan semakin dirasakan kontribusi dan manfaatnya bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Untuk itulah dalam penelitian yang sederhana ini nantinya akan diuraikan apa saja syarat-syarat menjadi seorang hakim dan bagaimana tugas, wewenang, pengangkatan dan pemberhentian seorang hakim. Agar pembahasan tentang persyaratan dan kompetensi hakim ini lebih menarik dan sistematis, dalam tulisan ini akan dijelaskan dari sudut peradilan Islam dan sistem peradilan sekarang (Peradilan Agama di Indonesia).

PEMBAHASAN

A.    Posisi Hakim dalam Lembaga Peradilan (Jabatan Fungsional)

Undang–undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok  Kepegawaian, telah mengalami dua kali perubahan, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 merupakan perubahan pertama, dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 merupakan perubahan kedua, ada perbedaan yang signifikan dalam dua kali perubahan Undang- undang Pokok Kepegawaian tersebut, terutama menyangkut status dan kedudukan hakim dalam Sistem Kepegawaian.

Status Kepegawaian Hakim berdasarkan UU Pokok Kepegawaian Nomor 8 Tahun 1974, dalam penjelasan pasal 2 ayat 2, huruf (a) disebutkan bahwa “Pegawai Negeri Sipil Pusat yang menyelenggarakan tugas Negara lainnya, seperti Hakim pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dan lain-lain”, sehingga status kepegawaian sangatlah jelas, yaitu sebagai Pegawai Negeri Sipil Pusat, dan proses Manajemen Kepegawaiannya masih sama dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS), termasuk proses rekrutmennya masih dari PNS. 

Perubahan signifikan terjadi dalam UU Nomor 43 Tahun 1999, yang dinyatakan dengan tegas bahwa hakim merupakan Pejabat Negara , Perubahan status hakim dari PNS Pusat menjadi Pejabat Negara dalam Undang -Undang tersebut tidak hanya terdapat dalam Pasal 11, namun secara keseluruhan UU Nomor 43 Tahun 1999 telah mencabut status hakim dari status awalnya sebagai PNS Pusat menjadi Pejabat Negara, hal tersebut dapat dilihat dari hilangnya (dihapusnya) penjelasan mengenai Pegawai Negeri Pusat maupun Daerah yang terdapat dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1974.

Walaupun UU Nomor 43 Tahun 1999 ini telah secara  tegas  menyebutkan bahwa hakim adalah Pejabat Negara, namun status PNS dari hakim tersebut masih melekat, karena dalam pasal 11 ayat 3 disebutkan bahwa Pegawai Negeri  yang menjadi Pejabat Negara tertentu tidak perlu diberhentikan dari jabatan organiknya. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pejabat Negara tertentu antara lain adalah Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda MA, Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua badan peradilan, sehingga PNS yang kemudian diangkat menjadi Hakim yang statusnya sebagai pejabat Negara, maka status PNS nya masih melekat, dengan kata lain pula, Hakim itu harus dari PNS, kecuali Hakim Agung.[1]

Maka wajar kalau selama ini seluruh proses Manajemen Kepegawaian dari Hakim masih menggunakan sistem yang di pakai oleh PNS, karena memang hakim  juga masih sebagai PNS.

Walaupun sebenarnya niatan untuk mengatur “Manajemen Kepegawaian” bagi hakim, mulai proses rekrutmen, promosi/mutasi, hingga pemberhentiannya  telah muncul sejak berlakunya UU Nomor 43 Tahun 1999 tersebut, namun proses pembuatan aturan turunan yang mendukung status hakim sebagai Pejabat Negara dirasa terlalu lama untuk segera dilengkapi.

Proses rekrutmen memang ada perubahan, sejak adanya perubahan Undang- Undang Peradilan tahun 2004 [2], yang awalnya rekrutmen Hakim dari PNS (baik PNS yang formasi CPNS nya sebagai calon Hakim maupun administrasi), berubah menjadi PNS yang formasi CPNS nya harus dari Calon Hakim, namun tetap saja status hakim tersebut masih sebagai PNS.

Dalam pasal 123 ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 2014, disebutkan bahwa ASN yang diangkat menjadi pejabat Negara tidak kehilangan status PNS nya, dan bisa kembali diaktifkan PNS nya ketika sudah tidak menjadi pejabat Negara. Namun dalam pasal tersebut tidak mengikutkan jabatan Presiden dan Wakil Presiden; Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc Gubernur dan wakil gubernur; Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota .

Artinya bila pegawai ASN yang diangkat menjadi pejabat Negara sebagaimana dalam paragraf di atas, yang didalamnya termasuk hakim, maka otomatis kehilangan statusnya sebagai PNS, hanya perbedaan waktu saja yang  membedakan kapan kehilangan status PNS nya, diantara jabatan tersebut.

Bila pegawai ASN mencalonkan diri ataupun dicalonkan untuk menduduki jabatan Presiden dan Wakil Presiden; Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan wakil gubernur; Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota, maka sejak proses pendaftaran harus mengajukan pengunduran diri sebagai PNS dan pengunduran diri tersebut tidak dapat dibatalkan apabila ASN tersebut dalam proses pencalonan tidak terpilih menjadi pejabat Negara.

Sedangkan Hakim, dalam pasal tersebut tidak dicantumkan bahwa pegawai ASN harus mengundurkan diri bila mendaftar seleksi hakim, artinya, status hilangnya PNS bagi ASN yang menjadi Hakim setelah ASN terseb ut resmi menjadi Pejabat Negara (Hakim), sehingga apabila kelak ada proses seleksi penerimaan Hakim dari PNS, maka sesuai ketentuan UU Nomor 5 Tahun 2014 tersebut, PNS tidak perlu mengundurkan diri sebagai PNS nya bila mengikuti proses seleksi Hakim, tetapi proses pengunduran PNS dilakukan setelah PNS tersebut diangkat menjadi Pejabat Negara, kecuali dikemudian hari ada aturan sebaliknya.

B.       Syarat-Syarat Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim

1.        Syarat-Syarat Hakim

Apabila kita perhatikan di dalam kitab-kitab fikih klasik, kita akan menemukan perbedaan di antara para ulama dalam menentukan jumlah syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang agar ia dapat menjadi seorang hakim. Imam Al-Mawardi (w. 450 H) di dalam kitabnya, Al-Ahkam as-Sultaniyyah wa al-Wilayah ad- Diniyyah, misalnya, memberikan tujuh syarat untuk menjadi seorang hakim, yaitu: laki-laki, berakal, merdeka, Islam, adil, selamat pendengaran dan penglihatan, dan mempunyai pengetahuan tentang hukum-hukum syara’.

Sementara itu, Muhammad Salm Madkar memberikan enam syarat, yaitu, laki-laki, berakal, Islam, adil, mempunyai pengetahuan tentang pokok-pokok hukum agama, sehat pendengaran, penglihatan dan ucapan.4 Sedangkan Imam an-Nawawi (w. 676 H) memberikan syarat sebanyak sepuluh bagi seorang hakim sebagaimana yang diutarakan oleh Imam Ar-Raml³ (w. 1004 H) di dalam kitabnya, Nihayah al-Muhtaj, yaitu, Islam, mukallaf, merdeka, laki-laki, adil, mendengar, melihat, berkata- kata, berkemampuan, dan mujtahid.[3]

Dari beberapa syarat untuk menjadi hakim yang telah dikemukakan di atas, pada dasarnya para ulama yang satu dengan yang lainnya mempunyai banyak kesamaan. Oleh sebab itu, dapatlah kita simpulkan bahwa syarat-syarat untuk menjadi hakim ialah Islam, berakal, laki-laki, adil, mujtahid, dan sehat pancaindera.

Dalam persyaratan ini para ulama sepakat bahwa hakim haruslah berakal. Berakal di sini tidaklah cukup hanya sekedar dipandang telah mukallaf, tetapi termasuk di dalamnya kecerdasan, tidak bodoh dan bukan pelupa sehingga ia dapat menyelesaikan masalah-masalah yang sulit apabila dihadapkan kepadanya. Adapun yang dimaksud dengan adil dalam konteks ini adalah senantiasa berkata benar, amanah (dapat dipercaya), tidak melakukan dosa besar, tidak terus melakukan dosa-dosa kecil, menjauhi keragu-raguan, jujur, baik dalam keadaan suka maupun marah dan senantiasa menjaga mur`ah.

Setelah kita mengetahui syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang yang ingin menjadi hakim dalam Islam, dalam kesempatan ini juga akan dipaparkan syarat-syarat menjadi hakim di Pengadilan Agama. Dalam hal ini dapat kita lihat dalam pasal 13 ayat 1 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 yang berbunyi:

Untuk dapat diangkat menjadi hakim pada Pengadilan Agama, seseorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a)      warga negara Indonesia

b)      beragama Islam

c)      bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

d)     setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

e)      bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung maupun tak langsung dalam “Gerakan Kontra Revolusi G. 30. S. /PKI” atau organisasi terlarang lainnya

f)       pegawai negeri

g)      sarjana syari`ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam

h)     berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun

i)       berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.[4]

 

2.        Pengangkatan Hakim

Hakim adalah jabatan kekuasaan yudisial yang untuk menjamin prinsip ‘checks and balances’ diangkat dan diberhentikan dengan keterlibatan cabang kekuasaan legislative dan eksekutif. Seleksi administratif dan kualitatif dilakukan oleh satu komisi independen bernama Komisi Yudisial, pemilihan dan penentuan statusnya dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat, dan penetapannya secara administrative dan seremonial dilakukan oleh cabang kekuasaan eksekutif. Calon hakim diusulkan oleh Komisi Yudisial untuk diangkat menjadi hakim dengan Keputusan Presiden setelah terlebih dulu mendapatkan persetujuan dari DPRD Provinsi setempat. Dengan demikian, KY yang mengusulkan, DPRD yang menyatakan setuju atau tidak setuju (the right to confirm), Presiden yang mengangkatnya dengan Keputusan Presiden. Pelantikan sebagai Hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung atau Ketua oleh Pengadilan Tinggi setempat, dengan disaksikan oleh Gubernur selaku Kepala Daerah.

Jabatan hakim harus diperlakukan sebagai jabatan kehormatan, sehingga hanya orang-orang yang diakui terhormat dan terpercaya sajalah yang dinilai pantas untuk diangkat menjadi hakim. Karena itu, calon hakim tidak melamar pekerjaan tetapi direkomendasikan oleh lembaga-lembaga masyarakat, lembaga-lembaga hukum, perguruan tinggi, atau dilakukan sendiri dengan cara head hunting oleh Komisi Yudisial. Seleksi administrative dilakukan sendiri oleh Komisi Yudisial yang selanjutnya diajukan untuk diangkat oleh Presiden dengan terlebih dahulu memintakan persetujuan DPRD provinsi setempat. Dalam hal ini, DPRD hanya memutuskan menyetujui atau menolak usul pengangkatan hakim yang akan diajukan oleh Komisi Yudisial kepada Presiden.

 Sebelum diajukan kepada DPRD, sebaiknya calon-calon hakim yang diseleksi oleh KY diumumkan secara terbuka kepada masyarakat. Pengumuman dilakukan 2 kali, yaitu pada tahap seleksi administratif dan tahap seleksi kualitatif. Apabila dari masyarakat muncul keberatan terhadap calon-calon tertentu, maka terhadap calon dimaksud diadakan klarifikasi oleh panitia banding yang dibentuk khusus oleh KY guna menetapkan status calon yang bersangkutan. Jumlah calon yang diajukan kepada DPR sebanyak jumlah hakim yang direncanakan akan diangkat sebagaimana mestinya. Artinya, DPRD tidak perlu mengadakan ‘fit and proper test’ tersendri, tetapi hanya menyatakan dukungan setuju atau tidak setuju kepada calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial.

Dalam Islam orang yang berhak dan bertanggung jawab dalam mengangkat hakim adalah khalifah atau mereka yang diberi kuasa oleh khalifah seperti qadi al-quraat.[5] Oleh karena itu, seseorang tidak dapat mengangkat dirinya sendiri menjadi hakim. Begitu juga dengan masyarakat atau golongan manapun, kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya kekhalifahan atau pemerintahan tidak ada, sementara hakim sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada, maka dalam keadaan ini masyarakat dapat mengangkat seseorang menjadi hakim.[6] Pendapat ini dipertegas lagi oleh Abu Ya`la yang mengatakan bahwa jika penduduk sebuah negeri yang tidak mempunyai hakim kemudian mereka sepakat untuk mengangkat seorang hakim, padahal pemerintahan (al-Imam) masih ada, maka batallah pengangkatan mereka itu. Tetapi sebaliknya jika pemerintahan tidak ada pada waktu itu maka sahlah pengangkatan mereka.

Ibn Farhun, sebagaimana dikutip oleh Abd. al-Autwah, berpendapat bahwa hak dan kuasa untuk mengangkat hakim dibolehkan dengan salah satu dari dua cara, yaitu :

a)      Pengangkatan oleh Amir al-Mu`minin atau salah seorang dari gubernurnya.

b)      Pengangkatan oleh mereka yang bersifat adil, berilmu, dan mempunyai pengaruh di dalam masyarakat. Cara kedua ini dapat dilakukan apabila pemerintahan tidak ada.

Dari penjelasan di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa yang berhak dan bertanggung jawab dalam mengangkat hakim adalah pemerintah (al-Im±m al-Khalifah) atau mereka yang diberi kuasa untuk itu, seperti para gubernur. Sedangkan rakyat hanya boleh melantik hakim dalam keadaan-keadaan darurat saja.

Cara pengangkatan hakim dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan lisan dan dapat juga dengan tulisan.[7] Pengangkatan hakim secara lisan adalah dengan perkataan. Cara ini dapat dilakukan jika yang mengangkat dan yang diangkat berada dalam satu majelis. Sedangkan pengangkatan dengan tulisan dilakukan apabila tidak berada dalam satu majelis.

Untuk menyempurnakan pengangkatan hakim, maka hendaklah diminta persetujuan orang yang akan diangkat menjadi hakim. Jika pengangkatan tersebut dilakukan dengan ucapan, maka jawaban penerimaannya hendaklah dilakukan secara serta-merta dan dengan ucapan juga. Sedangkan apabila pengangkatan tersebut melalui surat, maka jawaban penerimaannya tidak disyaratkan secara serta-merta, dan dapat dilakukan dengan surat atau dengan ucapan.

3.        Pemberhentian Hakim

Hakim dapat diangkat dan dapat diberhentikan dalam masa tugasnya. Oleh karena diusulkan agar pengangkatan hakim dilakukan dengan melibatkan DPRD, maka pemberhentian hakim juga dilakukan dengan melibatkan lembaga perwakilan rakyat sebagaimana mekanisme impeachment yang diterapkan di pelbagai negara, seperti di Amerika Serikat. Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas hakim dapat mengawasi kinerja hakim sebagaimanna mestinya. Dalam hal hakim melanggar kode etika, maka terhadapnya dapat dikenakan sanksi etika.

Apabila pelanggaran yang dilakukan bersifat pelanggaran hukum yang berat atau pelanggaran etika yang diancam dengan sanksi pemberhentian, maka usul pemberhentiannya itu diajukan oleh KY untuk mendapatkan persetujuan dari DPRD Provinsi setempat. Apabila usul pemberhentian itu disetujui oleh DPRD, barulah usul itu diajukan oleh Komisi Yudisial untuk ditetapkan dengan keputusan presiden sebagaimana mestinya. Dengan demikian, oleh karena dalam pengangkatan hakim kepada DPRD Provinsi diberikan hak atau kewenangan untuk konfirmasi (the right to confirm), maka dalam memberhentikan hakim dari jabatannya, kepada DPRD Provinsi juga harus pula diberikan hak konfirmasi (the right to confirm) yang sama.

Pemerintah mempunyai hak untuk memberhentikan seorang hakim dari jabatannya. Namun, tindakan tersebut dibenarkan selama mempunyai sebab. Sebab-sebab yang dapat menghilangkan jabatan hakim di antaranya adalah:

a)      Gila. Jika seorang hakim terkena penyakit gila secara terus menerus, maka dengan sendirinya dia telah berhenti dari jabatan hakim tersebut.[8]

b)      Sakit. Yang dimaksud sakit di sini adalah sakit yang menyebabkan hakim tersebut cacat, sehingga ia tidak mampu lagi bergerak dan menghalanginya untuk menjatuhkan putusan. Sakit seperti ini dapat menyebabkan seseorang tidak lagi menjadi hakim dengan sendirinya jika tidak ada harapan sembuh. Tetapi jika sakit tersebut mempunyai harapan sembuh atau sakitnya itu hanya membuatnya tidak mampu bergerak tetapi tidak menghalanginya untuk menjatuhkan putusan, maka ia tidak terpecat dengan sendirinya.

c)      Mengingkari jabatan hakim. Jika seorang hakim mengingkari jabatannya, misalnya ia mengaku bukan hakim tanpa ada sebab yang membolehkannya untuk menyembunyikan jabatan tersebut, maka dengan sendirinya ia telah terpecat. Berbeda halnya jika pemerintah yang menafikan bahwa ia bukan seorang hakim, maka ia tidak akan terpecat dengan sendirinya.

d)     Fasik. Jika seorang hakim menjadi fasik, maka dengan sendirinya ia telah terpecat dan putusan yang telah dijatuhkannya tidak boleh dilaksanakan.

Inilah keadaan-keadaan di mana hakim dapat terpecat dengan sendirinya. Dalam keadaan yang sama juga, hakim dapat dipecat oleh pemerintah. Ini berarti bahwa keadaan tersebut dapat menyebabkan dua hal. Pertama, hakim dipecat dengan sendirinya. Kedua, hakim dipecat oleh pemerintah.

C.      Tugas dan Peran Hakim Dalam Menegakkan Hukum dan Keadilan

Hakim harus mengadili dengan benar terhadap perkara yang diajukan kepadanya, ia tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan hukum tidak ada atau belum jelas, melainkan ia wajib me- ngadilinya. Sebagai penegak hukum ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa yang ada dalam perkara tersebut.

Oleh karena itu, Majelis Hakim sebelum menjatuhkan putusannya terlebih dahulu harus menemukan fakta dan peristiwa yang terungkap dari Penggugat dan Tergugat, serta alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak dalam persidangan. Terhadap hal yang terakhir ini, Majelis Hakim harus mengonstatir dan mengkualifisir peristiwa dan fakta tersebut sehingga ditemukan peristiwa/fakta yang konkrit. Setelah Majelis Hakim menemuka peristiwa dan fakta secara objektif, maka Majelis Hakim berusaha menemukan hukumnya secara tepat dan akurat terhadap peristiwa yang terjadi itu. Jika dasar-dasar hukum yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara kurang lengkap, maka Majelis Hakim karena jabatannya dapat menambah/ melengkapi da- sar-dasar hukum itu sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang berperkara.

Hakim memiliki tugas utama, yaitu menyelesaikan perselisihan hukum secara final dan terbuka, secara tidak langsung hakim menegaskan adanya supremasi hukum. Hakim sebagai pejabat negara mempunyai wewenang kekuasaan yang signifikan dalam pemerintahan. Mereka mengawasi prosedur persidangan yang diikuti, dengan tujuan untuk memastikan konsistens, ketidakberpihakan, dan juga penyalahgunaan wewenang. Selain itu hakim dapat memberikan perintah pada militer, polisi, atau pejabat pengadilan agar proses penyelidikan berjalan dengan lancar. Perintah dapat berupa penggeledahan, penangkapan, pemenjaraan, gangguan, penyitaan, deportasi, dan tidak kriminal lainnya. Adapun pengadilan banding dan pengadilan tertinggi yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari hakim, mereka dapat meriksa kekuasan seorang hakim.

Biasanya sebelum melakukan persidangan, petugas kepolisian(petugas dan koroner polisi), jaksa penuntut umum atau kejaksaan umum melakukan penyeldikan pra-persidangan untuk mengumpulkan fakta-fakta. Pengadilan memiliki tiga pejabat pengadilan utama yang terlatih dan diakui secara hukum : hakim jaksa penuntut umum dan pengacara pembela. Hakim memeliki banyak peran antara sistem hukum. Pada kasus sistem permusuhan (common law) seperti yang pernah terjadi dia Amerika Serikat dan Inggris, hakim berperan sebagai wasit yang tidak memihak, terutama untuk memastikan prosedur berjalan dengan semestinya.Sementara penuntutan dan pembelaan mengajukan kasus mereka kepada juri, yang biasanya dipilih dari warga negara biasa. Juri bertugas sebagai pencari fakta utama, sedangkan hakim akan menyelesaikan hukuman. Akan tetapi, dalam kasus pengadilan yang lebih kecil hakim dapat mengeluarkan putusan ringkasan tanpa harus melanjutkan ke pengadilan juri. Dalam sebuah sistem melit (hukum sipil), seperti yang berlaku di benua Eropa, tidak ada juri dan hakim sebagai factfinder utama, yang bertugas memimpin pengadilan, menilai, dan memberikan hukuman. Dengan demikian, hakim diharapkan mampu untuk menerapkan hukum secara langsung, seperti dalam ekspresi Perancis Le juge est la bouche de la loi ("Hakim adalah mulut hukum"). Dijelaskan lebih lanjut, bahwa dalam beberapa sistem investigasi dapat dilakukan oleh hakim yang berfungsi sebagai hakim pemeriksa.

Hakim dapat bekerja sendiri dalam kasus-kasus yang lebih kecil, tetapi dalam pidana, keluarga dan kasus-kasus penting lainnya, mereka bekerja dalam panel. Dalam beberapa sistem hukum perdata, panel ini dapat mencakup hakim awam. Hakim awam tidak seperti hakim profesional, biasanya dia tidak terlatih secara hukum.

PENUTUP

Hakim merupakan salah satu unsur terpenting dalam lembaga peradilan (agama). Ia memainkan peranan yang sangat penting dalam melaksanakan pemberlakuan hukum Islam dan merupakan orang yang paling bertanggungjawab sepenuhnya dalam menjaga dan mempertahankan hukum Islam.

Demikian beratnya tugas hakim, tentu tidak semua orang mampu melaksanakannya. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya pemberian kriteria khusus dan penyaringan tersendiri bagi orang yang akan diangkat menjadi hakim. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa orang yang memegang jabatan ini benar-benar berwibawa dan berkelayakan.

Pemerintah mempunyai hak untuk memberhentikan seorang hakim dari jabatannya. Namun, tindakan tersebut dibenarkan selama mempunyai sebab. Inilah keadaan-keadaan di mana hakim dapat terpecat dengan sendirinya. Dalam keadaan yang sama juga, hakim dapat dipecat oleh pemerintah. Ini berarti bahwa keadaan tersebut dapat menyebabkan dua hal. Pertama, hakim dipecat dengan sendirinya. Kedua, hakim dipecat oleh pemerintah.


 

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddiqiey, T. M. Hasbi. Peradilan dan hukum Acara Islam. Bandung: Al-Maarif.

Basah, Syachran Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan di Indonesia. Bandung: PT. Akemui, 1985.

Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996.

Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. 1999.

Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Rajawali Pers, 1991.

Zaidan, Abdul Karim. Sistem Kehakiman Islam, terj. Mohd. Saleh Ahmad. Malaysia: Pustaka Haji Abdul Majid, 1993

Wahyu Wiradinata, Komisi Yudisial dan Pengawasan Hakim di Indonsia, Asy-Syir’ah, Vol 48 no. 2 Desember 2004.

Wildan Sayuti, Kode Etik Hakim Dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Mahkamah Agung Republik Indonesia hal. 33



[1] Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 14 Tahun 1985

[2] Pasal 14  ayat  2  UU Nomor  8  Tahun 2004,  Pasal 13 ayat 2 UU Nomor 3 Tahun 2006, Pasal 14 ayat 2 UU Nomor 9 Tahun 2004.

[3] 5Syam ad-D³n Muhammad ibn Ab³ al-`Abbas Ahmad ibn Hamzah ibn Syihab ad-D³n ar-Raml³, Nihayah al-Muhtaj (Mesir: Al-Maktabah al-Islamiyyah, t. t), jilid VII, h. 238

 

[4] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Rajawali Perss, 1991), h. 240-241.

[5] A. Othman, Kadi Pelantikan, h. 41

[6] Abd. Al-Autwah, Ni§am al-Qada`f³ al-Islam (Mesir: Maktab al-Ahram, 1969), h. 24.

[7] Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sultaniyyah, h. 69.

[8] 24Muhammad al-Khat³b asy-Syarbain³, Mugn³ al-Muhtaj (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, 1958) jilid IV, h. 380

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LABORATORIUM PERADILAN SEMU

LABORATORIUM PERADILAN SEMU
Jl. Raya Sungai Kelambu, Desa Mensere Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, Kode Pos 79461

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

Pages